Sistem Pemerintahan Demokrasi Indonesia dan Sejarah
Perkembangannya
Sistem Demokrasi Indonesia
Kata “demokrasi” berasal dari dua
kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti
pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang
lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu
politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai
indikator perkembangan politik suatu negara.
Demokrasi yang dianut di Indonesia,
yaitu demokrasi berdasarkan Pancasila, masih dalam taraf perkembangan dan
mengenai sifat-sifat dan ciri-cirinya terdapat berbagai tafsiran serta
pandangan. Tetapi yang tidak dapat disangkal ialah bahwa beberapa nilai pokok
dari demokrasi konstitusionil cukup jelas tersirat di dalam Undang Undang Dasar
1945.
Sistem Pemerintahan Demokrasi
Pancasila
Landasan formil dari periode
Republik Indonesia III ialah Pancasila, UUD 45 serta Ketetapan-ketetapan MPRS.
Sedangkan sistem pemerintahan demokrasi Pancasila menurut prinsip-prinsip yang
terkandung di dalam Batang Tubuh UUD 1945 berdasarkan tujuh sendi pokok, yaitu
sebagai berikut:
1. Indonesia ialah negara yang
berdasarkan hukum
Negara Indonesia berdasarkan hukum
(Rechsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machsstaat). Hal ini
mengandung arti bahwa baik pemerintah maupun lembaga-lembaga negara lainnya
dalam melaksanakan tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum dan tindakannya
bagi rakyat harus ada landasan hukumnya. Persamaan kedudukan dalam hukum bagi
semua warga negara harus tercermin di dalamnya.
2. Indonesia menganut sistem
konstitusional
Pemerintah berdasarkan sistem
konstitusional (hukum dasar) dan tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang
mutlak tidak terbatas). Sistem konstitusional ini lebih menegaskan bahwa
pemerintah dalam melaksanakan tugasnya dikendalikan atau dibatasi oleh
ketentuan konstitusi, di samping oleh ketentuan-ketentuan hukum lainnya yang
merupakan pokok konstitusional, seperti TAP MPR dan Undang-undang.
3. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
sebagai pemegang kekuasaan negara yang tertinggi.
Seperti telah disebutkan dalam pasal
1 ayat 2 UUD 1945 pada halaman terdahulu, bahwa (kekuasaan negara tertinggi)
ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Dengan demikian, MPR
adalah lembaga negara tertinggi sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia.
Sebagai pemegang kekuasaan negara yang tertinggi MPR mempunyai tugas pokok,
yaitu:
a. Menetapkan UUD
b. Menetapkan GBHN dan
c. Memilih dan mengangkat presiden dan
wakil presiden
Sejarah dan Pekembangan Demokrasi Di
Indonesia
1. Demokrasi Kerakyatan Pada Masa
Revolusi
Periode panjang pergerkan nasional
yang didominasi oleh munculnya organisasi modern digantikan periode revolusi
nasional. Revolusi yang menjadi alat tercapainya kemerdekaan merupakan kisah
sentral sejarah indonesia. Semua usaha untuk mencari identitas (jati) diri,
semangat persatuan guna menghadapi kekuasaamn kolonial, dan untuk membangun
sebuah tatanan sosial yang adil akhirnya membuahkan hasil dengan
diproklamasikannya kemerdekaan indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Pada masa revolusi 1945 – 1950
banyak kendala yang dihadapi bangsa indonesia, misalnya perbedaan-perbedaan
antara kekuatan-kekuatan perjuangan bersenjata dengan kekuatan diplomasi,
antara mereka yang mendukung revolusi sosial dan mereka yang menentangnya dan
antara kekuatan islam dalam kekutan sekuler. Di awal revolusi tidak satupun
perbedaan di antara bangsa indonesia yang terpecahkan. Semua permasalahan itu
baru dapat diselesaikan setelah kelompok-kelompok kekuatan itu duduk satu meja
untuk memperoleh satu kata sepakat bahwa tujuan pertama bangsa indonesia adalah
kemerdekaan bangsa indonesia. Pada akhirnya kekuatan-kekuatan perjuangan
bersenjata dan kekuatan diplomasi bersama-sama berhasil mencapai kemerdekaan.
2. Demokratisasi Dalam Demokrasi
Parlementer
Setelah indonesi merdeka, kini
menghadapi prospek menentukan masa depannya sendiri. Warisan yang ditinggalkan
pemerintahan kolonial berupa kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan dan
tradisi otoriter merupakan merupakan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan
para pemiipin nasional indonesia. Pada periode tahun 1950-an muncul kaum
nasionalis perkotaan dari partai sekuler dan partai-partai islam yang memegang
kendali pemerintahan. Ada sesuatu kesepakatan umum bahwa kedua kelompok inilah
yang akan menciptakan kehidupan sebuah negara demokrasi di indonesia.
Undang – Undang dasar 1950
menetapkan berlakunya sistem parlementer dimana badan eksekutif terdiri dari
presiden sebagai kepala negara konstitusional beserta para menteri yang
mempunyai tanggung jawab politik. Setiap kabinet terbentuk berdasarkan koalisi
pada satu atau dua partai besardengan beberapa partai kecil. Koalisi ternyata
kurang mantap dan partai-partai koalisi kurang dewasa dalam menghadapi tanggung
jawab mengenai permasalahan pemerintahan. Di lain pihak, partai-partai dalam
barisan oposisi tidak mampu berperan sebagai oposisi kontruktif yang menyusun
program-program alternatif, tetapi hanya menonjolkan segi-segi negatif dari
tugas oposisi (Miriam Budiardjo, 70).
Pada umumnya kabinet dalam masa pra
pemilu tahun 1955 tidak dapat bertahan lebih lama dari rata-rata delapan bulan
dan hal ini menghambat perkembangan ekonomi dan politik oleh karena pemerintah
tidak mendapat kesempatan dalam untuk melaksanakan programnya. Pemilu tahun
1955 tidak membawa stabilitas yang diharapkan, malah perpecahan antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah tidak dapat dihindarkan.
Faktor-faktor tersebut mendorong presiden soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden
5 Juli 1959 yang menentukan berlakunya kembali UUD 1945. Dengan demikian masa
demokrasi berdasarkan sistem parlementer berakhir.
Mengingat kondisi yang harus di
hadapi pemerintah indonesia pada kurun waktu 1950-1959, maka tidak mengherankan
bahwa pelaksanaan demokrasi mengalami kegagalan karena dasar untuk dapat
membangun demokrasi hampir tidak dapat ditemukan. Mereka yang tahu politik
hanya sekelompok kecil masyarakat perkotaan. Para politisi jakarta, meskipun
mencita-citakan sebuah negara demokrasi. Kebanyakan adalah kaum elite yang
menganggap diri mereka sebagai pengikut suatu budaya kota yang istimewa. Mereka
bersikap paternalistik terhadap orang-orang yang kurang beruntung yakni
masyarakat pedesaan. Tanggung jawab mereka terhadap struktur demokrasi
parlementer yang merakyat adalah sangat kecil. Bangunan indah sebuah demokrasi
parlementer hampir tidak dapat berdiri dengan kokoh.
3. Demokratisasi Dalam Demokrasi
Terpimpin
Di tengah-tengah krisis tahun 1957
dan pengalaman jatuh bangunnya pemerintahan, mengakibatkan diambilmnya
langkah-langkah menuju suatu pemerintahan yang oleh Soekarno dinamakan
Demokrasi Terpimpin. Ini merupakan suatu sistem yang didominasi oleh
kepribadian soekarno yang prakarsa untuk pelaksanaan demokrasi terpimpin
diambil bersama-sama dengan pimpinan ABRI (Hatta, 1966 : 7). Pada masa ini
terdapat beberapa penyimpangan terhadap ketentuan UUD 1945, misalnya
partai-partai politik dikebiri dan pemilu ditiadakan. Kekuatan-kekuatan politik
yang ada berusha berpaling kepada pribadi Soekarno untuk mendapatkan
legitimasi, bimbingan atau perlindungan. Pada tahun 1960, presiden Soekarno
membubarkan DPR hasil pemilu 1955 dan menggantikanya dengan DPRGR, padahal
dalam penjelasn UUD 1945 secara ekspilisit ditentukan bahwa presiden tidak
berwenang membubarkan DPR.
Melalui demokrasi terpimpin Soekarno berusaha menjaga keseimbangn politik yang merupakan kompromi antara kepentingan-kepentingan yang tidak dapat dirujukan kembali dan memuaskan semua pihak. Meskipun Soekarno memiliki pandangan tentang masa depan bangsanya, tetapi ia tidak mampu merumuskan sehingga bisa diterima oleh pimpinan nasional lainnya. Janji dari demokrasi terpimpin pada akhirnya tidak dapat terealisasi. Pemberontakan G 30 S/PKI tahun 1965 telah mengakhiri periode demokrasi terpimpin dan membuka peluang bagi dilaksanakannya demokrasi Pancasila.
Melalui demokrasi terpimpin Soekarno berusaha menjaga keseimbangn politik yang merupakan kompromi antara kepentingan-kepentingan yang tidak dapat dirujukan kembali dan memuaskan semua pihak. Meskipun Soekarno memiliki pandangan tentang masa depan bangsanya, tetapi ia tidak mampu merumuskan sehingga bisa diterima oleh pimpinan nasional lainnya. Janji dari demokrasi terpimpin pada akhirnya tidak dapat terealisasi. Pemberontakan G 30 S/PKI tahun 1965 telah mengakhiri periode demokrasi terpimpin dan membuka peluang bagi dilaksanakannya demokrasi Pancasila.
4. Demokratisasi Dalam Demokrasi
Pancasila
Pada tahun 1966 pemerintahan
Soeharto yang lebih dikenal dengan pemerintahan Orde Baru bangkit sebagai
reaksi atas pemerintahan Soekarno. Pada awal pemerintahan orde hampir seluruh
kekuatan demokrasi mendukungnya karena Orde Baru diharapkan melenyapkan rezim
lama. Soeharto kemudian melakukan eksperimen dengan menerapkan demokrasi
Pancasila. Inti demokrasi pancasila adalah menegakkan kembali azas negara hukum
dirasakan oleh segenap warga negara, hak azasi manusia baik dalam aspek
kolektif maupun aspek perseorangan dijamin dan penyalahgunaan kekuasaan dapat
dihindarkan secara institusional. Dalam rangka mencapai hal tersebut,
lembaga-lembaga dan tata kerja orde baru dilepaskan dari ikatan-ikatan pribadi
(Miriam, 74).
Sekitar 3 sampai 4 tahun setelah
berdirinya Orde Baru menunjukkan gejala-gejala yang menyimpang dari
cita-citanya semula. Kekuatan – kekuatan sosial-politik yang bebas dan
benar-benar memperjuangkan demokrasi disingkirkan. Kekuatan politik dijinakkan
sehingga menjadi kekuatan yang tidak lagi mempunyai komitmen sebagai kontrol
sosial. Kekuatan sosial politik yang diikutsertakan dalam pemilu dibatasi.
Mereka tidak lebih dari suatu perhiasan dan mempunyai arti seremonial untuk
dipertontonkan kepada dunia internasional bahwa indonesia telah benar-benar
berdemokrasi, padahal yang sebenarnya adalah kekuasaan yang otoriter.
Partai-partai politik dilarang berperan sebagai oposisi maupun kontrol sosial.
Bahakan secara resmi oposisi ditiadakan dengan adanya suatu “konsensus
nasional”. Pemerintahan Soeharto juga tidak memberikan check and balances
sebagai prasyarat dari sebuah negara demokrasi (sarbini Sunawinata, 1998 ;8).
Pada masa orde baru budaya
feodalistik dan paternalistik tumbuh sangat subur. Kedua sikap ini menganggap
pemimpin paling tahu dan paling benar sedangkan rakyat hanya patuh dengan sang
pemimpin. Mental paternalistik mengakibatkan soeharto tidak boleh dikritik.
Para menteri selalu minta petunjuk dan pengarahan dari presiden. Siakp mental
seperti ini telah melahirkan stratifikasi sosial, pelapisan sosial dan
pelapisan budaya yang pada akhirnya memberikan berbagai fasilitas khusus,
sedangkan rakyat lapisan bawah tidak mempunyai peranan sama sekali. Berbagai
tekanan yang diterima rakyat dan cita-cita mewujudkan masyarakat adil dan makmur
yang tidak pernah tercapai, mengakibatkan pemerintahan Orde Baru mengalami
krisis kepercayaan dan kahirnya mengalami keruntuhan.
5. Rekonstruksi Demokrasi Dalam Orde
Reformasi
Melalui gerakan reformasi, mahasiswa
dan rakyat indonesia berjuang menumbangkan rezim Soeharto. Pemerintahan
soeharto digantikan pemerintahan transisi presiden Habibie yang didukung
sepenuhnya oleh TNI. Lembaga-lembaga di luar presiden dan TNI tidak mempunyai
arti apa-apa. Seluruh maslah negara dan bangsa indonesia menjadi tanggung jawab
presiden/TNI. Reformasi menuntut rakyat indonesia untuk mengoreksi pelaksanaan
demokrasi. Karena selama soeharto berkuasa jenis demokrasi yang dipraktekkan
adalah demokrasi semu. Orde Baru juga meninggalkan warisan berupa krisis
nasional yang meliputi krisis ekonomi, sosial dan politik.
Agaknya pemerintahan “Orde
Reformasi” Habibie mecoba mengoreksi pelaksanaan demokrasi yang selama ini dikebiri
oleh pemerintahan Orde baru. Pemerintahan habibie menyuburkan kembali alam
demokrasi di indonesia dengan jalan kebebasan pers (freedom of press) dan
kebebasab berbicara (freedom of speech). Keduanya dapat berfungsi sebagai check
and balances serta memberikan kritik supaya kekuasaan yang dijalankan tidak
menyeleweng terlalu jauh.
0 komentar:
Posting Komentar